Indonesia baru saja mencatatkan tonggak sejarah penting dalam industri kendaraan listrik (EV). Dengan meresmikan proyek baterai EV terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menunjukkan komitmen kuat untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok kendaraan listrik global. Namun, di balik besarnya investasi dan optimisme tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah pasar domestik benar-benar siap?
Proyek Strategis Rp96 Triliun untuk Rantai Pasok EV
Pada Juli 2024, pemerintah secara resmi melakukan groundbreaking proyek senilai Rp96 triliun (sekitar USD 6 miliar) di Karawang, Jawa Barat. Proyek ini merupakan hasil konsorsium antara PT ANTAM, Indonesia Battery Corporation (IBC), dan perusahaan global Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL).
Fokus dari proyek ini adalah membangun fasilitas produksi sel baterai dengan target kapasitas 15 GWh pada tahun 2028, dimulai dari fase awal sebesar 6,9 GWh pada 2026. Selain untuk kebutuhan domestik, baterai ini juga akan diekspor dalam bentuk Energy Storage System (ESS). Proyek ini juga diproyeksikan menyerap lebih dari 35.000 tenaga kerja secara total.
Penjualan EV Indonesia: Tumbuh Cepat, Tapi Masih Kecil
Penjualan mobil listrik berbasis baterai (BEV) di Indonesia mencatat pertumbuhan sangat cepat, dengan compound annual growth rate (CAGR) mencapai 331% sejak 2020. Dari hanya sekitar 125 unit pada tahun 2020, penjualan melonjak menjadi lebih dari 43.000 unit pada 2024.
Namun, angka ini masih menyumbang sekitar 5% dari total penjualan mobil nasional tahun 2024 (865.723 unit). Lebih lanjut, pasar EV di Indonesia saat ini masih sangat didominasi oleh merek asal Tiongkok. Wuling Air EV menguasai lebih dari 70% pangsa pasar pada 2022–2023, diikuti oleh BYD (36% pangsa pasar 2024), serta Hyundai Ioniq dan Chery.
Risiko dan Tantangan: Proyek Selesai Bukan Berarti Masalah Selesai
Walaupun pembangunan infrastruktur baterai EV merupakan langkah strategis, namun beberapa tantangan besar masih membayangi kesiapan pasar:
Infrastruktur Charging Station Belum Merata
Penyebaran stasiun pengisian daya belum menjangkau seluruh wilayah, khususnya luar Pulau Jawa.Harga EV Masih Tinggi
Harga rata-rata EV masih berada di atas segmen mobil murah (LCGC), membatasi penetrasi ke segmen menengah bawah.Literasi Pasar Rendah
Banyak masyarakat belum memahami keuntungan jangka panjang EV, termasuk efisiensi energi dan biaya operasional rendah.Ketersediaan SDM Terbatas
Tenaga kerja untuk sektor manufaktur baterai dan otomotif EV masih perlu ditingkatkan secara kualitas dan kuantitas.
Ketergantungan pada Investasi Asing Proyek-proyek besar EV di Indonesia masih sangat bergantung pada investasi dan teknologi dari luar negeri.
Conclusion
Antara Optimisme dan Kesiapan Nyata
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi hub industri kendaraan listrik, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga secara global. Namun, pembangunan industri hulu seperti baterai harus diimbangi dengan kesiapan pasar hilir. Tanpa strategi percepatan adopsi EV di dalam negeri, proyek sebesar ini berisiko tidak optimal dalam mendukung ekosistem EV secara menyeluruh.
Upaya peningkatan literasi, insentif fiskal, pembangunan infrastruktur, dan penguatan SDM lokal harus menjadi prioritas. Karena sejatinya, proyek besar bukan hanya tentang groundbreaking—tetapi juga tentang bagaimana dampaknya mampu dirasakan oleh masyarakat luas.
Butuh konsultasi lebih lanjut tentang
Business Strategy
Share on :