Kesepakatan Baru Indonesia–AS: Di Balik Peluang Dagang, Ada Isu Sensitif Soal Data Pribadi
Pada tanggal 22–23 Juli 2025, Gedung Putih merilis kerangka kerja perjanjian perdagangan timbal balik antara Indonesia dan Amerika Serikat. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah klausul mengenai transfer data pribadi dari Indonesia ke AS, yang diklaim sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha lintas negara.
Namun, benarkah ini sekadar langkah efisiensi untuk membuka keran ekspor lebih luas? Ataukah justru menjadi celah eksploitasi terhadap privasi data warga negara Indonesia?
Latar Belakang: Sejarah Buram Keamanan Data di Indonesia
Indonesia telah berkali-kali mengalami insiden kebocoran data skala besar dalam lima tahun terakhir:
2020: Tokopedia bocorkan 91 juta data pribadi pengguna.
2021: BPJS Kesehatan bocorkan 279 juta data riwayat kesehatan ke forum dark web.
2022: Data 105 juta pemilih dari KPU dijual oleh hacker Bjorka.
2023: 337 juta data dari Ditjen Dukcapil diretas dan diperjualbelikan.
2024: Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) dibobol ransomware Brain Chiper, mengunci data dari 282 lembaga dan meminta tebusan Rp131 miliar.
Dengan rekam jejak ini, kepercayaan publik terhadap pengelolaan data oleh negara sedang berada pada titik kritis.
Apa Sebenarnya Isi dari Kesepakatan Transfer Data Ini
Berdasarkan kerangka perjanjian, beberapa poin penting yang diatur adalah:
Pengakuan AS sebagai negara dengan tingkat perlindungan data yang “memadai” berdasarkan standar UU Perlindungan Data Indonesia.
Transfer data hanya mencakup data identitas dan transaksi perdagangan, bukan data publik secara luas.
Tetap mengacu pada kerangka hukum nasional seperti PP No. 71 Tahun 2019 dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Transfer dilakukan dengan dasar hukum yang transparan dan dapat diaudit.
Namun, kekhawatiran tetap muncul terkait sejauh mana governance dan akuntabilitas akan diterapkan secara efektif.
Efisiensi atau Eksploitasi? Peluang dan Risiko Transfer Data
Peluang:
Ekonomi & Perdagangan: Penghapusan tarif ekspor dapat mendorong UMKM dan manufaktur go global.
Infrastruktur Digital: Akses langsung ke infrastruktur cloud global → percepatan digitalisasi.
Penguatan Regulasi: Kesempatan memperkuat otoritas pengawas perlindungan data nasional.
Kepatuhan Global: Perusahaan lebih mudah patuh pada standar global (misal CCPA, Privacy Shield).
Reputasi Negara: Indonesia dilihat sebagai negara pro-market dan terbuka terhadap investasi digital.
Risiko:
Ketergantungan: Posisi tawar Indonesia bisa menurun jika terlalu tergantung pada AS.
Kedaulatan Data: Pengendalian dan penyimpanan data bisa lepas dari otoritas nasional.
Kelemahan Regulasi: Jika pengawasan lemah, data mudah disalahgunakan.
Compliance Gap: Banyak perusahaan lokal belum siap secara compliance.
Backlash Publik: Risiko persepsi negatif karena privasi masyarakat dirasa tidak dihargai.
Industri yang Terdampak: Siapa Harus Bersiap?
Teknologi & SaaS (Software)
Akses ke AWS, Google Cloud, dan Microsoft Azure akan semakin mudah.
Tapi compliance terhadap perlindungan data lokal bisa menjadi tantangan besar.
E-Commerce & Retail
Data transaksi, CRM, dan profiling konsumen sangat sensitif.
Transfer ke AS rawan diakses pihak ketiga jika tidak dilindungi secara ketat.
Kesehatan & Asuransi
Data pasien sangat sensitif. Tanpa audit dan proteksi ketat, bisa jadi bumerang hukum dan etika.
Manufaktur & Eksportir
Diuntungkan oleh penghapusan tarif, namun tetap perlu edukasi soal compliance dan tata kelola data lintas negara.
Conclusion
Strategi Nasional Diperlukan Sebelum Implementasi
Transfer data lintas negara bukan semata persoalan teknis, melainkan persoalan strategis yang menyentuh kedaulatan digital dan hak privasi warga negara. Indonesia perlu memastikan bahwa semua instrumen regulasi, pengawasan, dan kesiapan sektor bisnis sudah matang sebelum implementasi penuh perjanjian ini dilakukan.
Perlu ada keterlibatan aktif dari:
DPDP (Dewan Perlindungan Data Pribadi)
Kementerian terkait (Kominfo, Perdagangan, Hukum)
Lembaga pengawas independen
Pelaku industri digital dan eksportir
Tanpa hal tersebut, kita berisiko menjadikan data pribadi sebagai komoditas diplomatik, bukan sebagai hak warga negara yang harus dilindungi.
Butuh konsultasi lebih lanjut tentang
Business Strategy
Share on :